DIREKTORAT Data dan Pengembangan Sistem, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Fajar Santoso Hutahaean membangun bangunan rendah karbon memiliki nilai lebih yang didapatkan.
“Dari secara agregat pembangunan gedung hijau memiliki karbon yang kecil maka pemerintah daerah bisa menghitung sebagai nilai ekonomi karbon. Jadi insentif bagi pemilik gedung seperti kemudahan perizinan, pengurangan pajak dan sebagainya,” kata Fajar di Jakarta Utara, Kamis (26/9).
Selain itu, nilai klaim akan dibuat kolektif oleh pemda juga sebagai upaya peningkatan kapasitas dan pelatihan manajemen energi bagi pemilik gedung.
Baca juga : Efisensi Naik, Rerata Intensitas Energi Indonesia Capai 3%
“Selain gedung, bangunan rendah karbon juga sudah mulai diterapkan dalam pembangunan perumahan namun biasanya biaya konstruksinya lebih mahal 9 persen. Hal itu sudah diterapkan beberapa perumahan di Parung Panjang, Kuningan, Purwakarta, hingga Kabupaten Serang,” ungkapnya.
Diketahui selama ini sektor bangunan gedung di Indonesia adalah menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 24,6%. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau sebagai salah satu upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Dimana kebijakan ini dikaitkan dengan sistem registrasi gedung atau izin membangun terutama bagi Gedung pemerintahan,” ucapnya.
ASEAN Low Carbon Building Transition Project Lead-Indonesia Ambolas Manuel Manalu menjelaskan bangunan di Indonesia perlu dilakukan dekarbonisasi yang tidak hanya dalam konsumsi energi, namun juga mengukur, melaporkan, dan verifikasi karbon yang dihasilkan dari konstruksi suatu gedung seperti jenis material, transportasi material, dan juga limbah konstruksi.
“Hal ini juga dikenal sebagai embodied carbon dalam sektor bangunan gedung, dan saat ini masih sangat kompleks untuk merencanakannya di Indonesia,” ungkap Ambolas. (H-2)