SKEMA Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dipimpin Jepang di bawah Strategi GX (Green Transformation) hendak diimplementasikan di Indonesia. Meskipun itu dinilai  bagian dari upaya menuju netralitas karbon dengan menciptakan kemitraan, bagi kelompok masyarakat sipil di Indonesia, inisiatif ini tidak lebih dari sekadar upaya greenwashing yang diberi label sebagai dekarbonisasi. AZEC dipandang hanya akan menyebabkan masalah bagi demokrasi, lingkungan hidup dan masyarakat Indonesia.

Kepala Divisi Kampanye WALHI menyebut proyek-proyek dan kerjasama dalam dokumen AZEC, tidak pernah dikonsultasikan secara terbuka dengan masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.

“Ada proyek dalam AZEC seperti proyek Waste to Energy (WTE) Legok Nangka di Kabupaten Bandung yang tidak transparan dalam penentuan teknologi incinerator dan pemenangan konsorsium dari Jepang, Sumitomo-Hitachi Zosen,” paparnya, Jumat (23/8).

Ia juga menyinggung kurangnya partisipasi bermakna dari komunitas seperti dalam proyek PLTPB Muara Laboh di Sumatera Barat. Sosialisasinya tidak dilakukan dengan terbuka, dan tidak melibatkan seluruh anggota komunitas yang terdampak.

“Padahal dampaknya sangat terasa bagi para petani yang mengalami gagal panen maupun warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi proyek” terang Fanny lebih lanjut.

Selain itu, menurutnya pemerintah Indonesia dan Jepang juga gagal memperhitungkan dampak sosial, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia yang mungkin timbul dan berdampak pada masyarakat luas sebagai akibat dari pelaksanaan proyek AZEC di Indonesia. Oleh karena itu, penerapan AZEC harus dihentikan karena tidak memenuhi kepentingan masyarakat

Hal lain yang diungkap dalam penolakan terhadap inisiatif AZEC  karena  berpotensi mengancam lingkungan, komunitas masyarakat adat serta menyebabkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Sigit Karyadi dari Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRuHA) menyebut bahwa proyek-proyek besar yang mengakibatkan konflik lingkungan dan pelanggaran HAM tidak boleh dilanjutkan hanya demi ambisi dekarbonisasi.

Salah satu proyek yang mendapatkan dukungan melalui AZEC untuk dijalankan di Indonesia ialah proyek Geothermal atau Panas Bumi. Menurut Sigit, di Indonesia pengaturan terkait Geothermal pasca Undang-Undang Cipta Kerja masih bercorak eksploitatif, berpotensi memperluas konflik agraria, dan meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap rakyat.

“Kebutuhan atas mineral kritis bagi kebutuhan baterai dan industri kendaraan listrik, yang juga didukung oleh AZEC untuk mencapai masyarakat ter-dekarbonisasi, justru membuat perusakan hutan hujan yang sesungguhnya merupakan wilayah penyerap karbon, dan terus meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang ada dan yang dipakai untuk mentenagai industri,”  ungkap Sigit lebih lanjut.

Proyek-proyek, perjanjian dan kerjasama yang didukung melalui AZEC, disebut membutuhkan lahan besar. Itu dapat menyebabkan perampasan lahan serta deforestasi lebih lanjut di Indonesia.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Uli Artha menyebut bahwa proyek-proyek dalam AZEC seperti kerja sama untuk memfasilitasi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Indonesia dikhawatirkan akan mendorong perampasan lahan-lahan masyarakat adat lebih banyak.

Begitu juga, sambung dia, proyek-proyek REDD yang telah menunjukkan berbagai kegagalan di Indonesia, serta proyek-proyek AZEC seperti Kajian teknologi pengelolaan air lahan gambut berbasis stok untuk pasokan biomassa kayu yang dikerjakan Sumitomo Forestry disebuy dapat mengulang kegagalan Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar dari era Orde Baru atau kegagalan proyek food estate jaman Presiden Jokowi. (H-3)

Sumber Link