Bapak Bom Atom: J. Robert Oppenheimer

Bioskop-bioskop di Indonesia kini tengah diramaikan dengan rilis film terbaru karya Christopher Nolan yang berjudul “Oppenheimer.” Film ini mengangkat kisah hidup seorang tokoh kontroversial, J. Robert Oppenheimer, yang terkenal sebagai ilmuwan yang terlibat dalam proyek pengembangan bom atom selama Perang Dunia II. Melalui film ini, penonton dapat memahami lebih dalam perjalanan hidup dan dampak yang ditimbulkan oleh orang yang paling sering dikaitkan dengan bom atom tersebut.

J. Robert Oppenheimer lahir pada tanggal 22 April 1904 di Kota New York, Amerika Serikat. Ia merupakan imigran Yahudi Jerman dan menempuh pendidikan tinggi di Universitas Harvard, mempelajari kimia pada tahun 1922. Setelah itu, Oppenheimer melanjutkan pendidikannya di Inggris, di mana ia memulai pekerjaan pascasarjana di bidang fisika di Laboratorium Cavendish, di bawah bimbingan J.J. Thomson, pemenang Hadiah Nobel yang terkenal karena penemuan elektron.

Selama bekerja di Laboratorium Cavendish, Oppenheimer memulai penelitian dalam bidang atom. Namun, kemampuan dan kecerdasannya melebihi ekspektasi fisika teoretis semata. Keterlibatannya dalam proyek pengembangan bom atom menjadi poin penting dalam sejarah dan kehidupan Oppenheimer.

Oppenheimer bergabung dengan Proyek Manhattan di Los Alamos Laboratory di Amerika Serikat, sebuah proyek rahasia yang bertujuan untuk menciptakan senjata pemusnah massal yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu bom atom. Proyek ini dipicu oleh kekhawatiran akan kemungkinan Jerman Nazi memiliki keunggulan senjata tersebut.

Pada 16 Juli 1945, Oppenheimer bersama para ilmuwan lainnya yang terlibat dalam Proyek Manhattan, menyaksikan dengan mata kepala sendiri ledakan bom atom pertama di padang pasir di Amerika Serikat. Kejadian itu menjadi momen penting yang mengubah sejarah, karena dalam beberapa minggu kemudian, dua bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, mengakibatkan kematian ribuan orang dan kerusakan yang tak terhingga.

Sejumlah orang yang terlibat dalam Proyek Manhattan menyatakan bahwa kesuksesan pengembangan bom atom mereka merupakan upaya untuk mengakhiri Perang Dunia II dengan cepat dan menghindari korban yang lebih banyak terjadi. Leslie Groves, Direktur Manhattan Project, seperti dikutip oleh IFL Science pada Rabu (19/7/2023), menyatakan, “Meskipun ini membawa kematian dan kehancuran dalam skala yang mengerikan, mereka juga berhasil menghindari korban lebih banyak. Orang Amerika, Inggris, dan Jepang.” Dalam film “Oppenheimer,” karakter Leslie Groves diperankan oleh Matt Damon.

Namun, Oppenheimer sendiri menyadari tanggung jawabnya dan menghadapi konsekuensi moral dari penggunaan bom atom. Dalam sebuah dokumenter berjudul “The Decision to Drop the Bomb,” ia mengungkapkan perasaannya ketika menyaksikan ledakan bom atom pertama. Oppenheimer mengutip sebuah bait dari sebuah syair dalam epos Mahabharata, Bhagavadgita. Ia mengatakan, “Kami tahu dunia tidak akan lagi sama. Beberapa orang tertawa. Beberapa orang menangis. Kebanyakan hanya diam. Saya ingat sebuah bait dari syair Hindu, Bhagavadgita. Wisnu mencoba membujuk sang pangeran untuk melaksanakan tugasnya dengan berubah wujud menjadi berlengan banyak. Ia mengatakan, ‘Kini, aku menjadi kematian, penghancur dunia.’ Saya rasa kami semua berpikir seperti itu.”

Pernyataan Oppenheimer mencerminkan konflik batin yang dihadapinya setelah melihat dampak destruktif dari penemuan yang ia bantu kembangkan. Bagi banyak orang, Oppenheimer menjadi simbol ambivalensi manusia terhadap kemajuan ilmiah dan dampak sosialnya. Sejak itu, ia menjadi salah satu tokoh yang mengadvokasi kontrol dan pengendalian senjata nuklir.

Kehadiran film “Oppenheimer” karya Christopher Nolan di bioskop-bioskop Indonesia memberikan kesempatan bagi penonton untuk mengeksplorasi dan mempertimbangkan kembali peran serta tanggung jawab manusia dalam perkembangan ilmiah yang sering kali berdampak besar. Kisah hidup J. Robert Oppenheimer mengajarkan kita pentingnya refleksi dan perenungan atas konsekuensi moral dari kemajuan ilmiah, serta menimbulkan pertanyaan yang relevan tentang perang, perdamaian, dan masa depan manusia di era nuklir.

Bagikan